Pages

Subscribe:

Informasi Dan Tekno

Minggu, 29 April 2012

Asyiknya Jadi Anak Pondokan

Seringkali kita ketahui bersama bahwasannya kehidupan santri pondok sagatlah membosankan dan sagatlah ketat tetapi keramaian dan kesolidaritasan dari teman-teman memberikan warna tersenderi.Semakin berkembangnya zaman kehidupan pondok semakin lama semakin surut bila dibandingkan dengan kehidupan di kota-kota besar khususnya para pemuda-pemudi yang lebih memilih kenikmatan dunia fana daripada mementingkan akheratnya, padahal sesungguhnya yang demikian itu adalah rugi besar jika tidak bisa memilih dan memilah mana yang baik dan yang buruk bagi dirinya sendiri.Kehidupannya lebih condong dipengaruhi oleh kesesatan makhluk yang paling terkutuk karena seperti yang kita tahu sendiri semakin majunya zaman kehidupan tidak semakin baik malah justru semakin rusak melalui berbagai sumber dan media mereka berniat menjatuhkan umat Islam satu per satu, terus dimanakah cahaya kebenaran akan muncul??? Jawabannya tergantung dari diri kita sendiri sebagai umat Islam apa yang seharusnya kita lakukan agar bisa bahagia dunia-akheratTidak mesti santri pondok itu selalu berhasil terkadang santri ponok pun juga bisa terpengaruh dengan gemerlapnya dunia ini tapi saya ingin mengungkap apa sebenarnya dibalik rahasia kehidupan pondok pesantren itu? Saya pun juga salah satu dari mereka meskipun saya tidak utuh seperti mereka tapi saya bisa merasakan betapa asyiknya jadi anak pondokan, kerja sama; kasih sayang dan rasa kesetiakawanan selalu diutamakan, tidak ada permusuhan tidak ada perselisihan di antara teman-teman sekalian seperti apa yang terjadi akhir-akhir ini, saling memberikan motivasi dan dukungan ketika salah satu ataupun lebih di antara kita ada yang lagi nggak ''mud''.Waktunya ngaji kita saling mengingatkan dan saling bersaing memenuhi target hafalan kita masing-masing jadi asyik banget tidak ada satu orang pun yang tertinggal walaupun santrinya tinggal beberapa orang saja kita selalu mencoba untuk meramaikan suasana dengan berbagai cara, waktunya santai terkadang kita isi dengan main sepak bola dan dari situ pula kenikmatan bisa saya rasakan sungguh sangat luar biasa Masya Allah, jika di pondok lagi ada acara kita selalu bersama-sama saling membantu untuk menyukseskannya jadi tidak ada yang berpangku tangan sama sekali.Mungkin inilah sedikit uraian yang mungkin bisa kita contoh dalam kehiduapan sehari-hari dan semoga bermanfaat bagi kita semua. By: http://lamantion.blogspot.com/2007/11/asyiknya-jadi-anak-pondokan.html

Revitalisasi Peran Kepemimpinan Santri

KabarIndonesia - Kalangan santri dalam potret sejarah selalu memegang peranan penting di hampir setiap transformasi sosial dan perjuangan meraih cita-cita suatu bangsa. Pada masa pra kemerdekaan misalnya kaum dan tokoh santri selalu turut andil dalam perjuangan kemerdekaan dengan perlawanan fisik maupun pikiran. KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan misalnya, dengan perjuangan menciptakan generasi-generasi ulama' yang intelek dan mencerdaskan generasi bangsa sehingga peninggalan mereka menjadi saksi perjuangan dalam bentuk organisasi yang didirikan yaitu NU dan Muhammadiyah. Bahkan pasca reformasi kalangan santri masih mendominasi peranan, pada masa ini kekuatan Islam mulai unjuk gigi dalam mengusung perubahan karakter bangsa dengan pesan moralitas agama. Misalnya ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden RI, Amien Rais terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR menunjukkan eksistensi kalangan santri dalam memegang peranan pembangunan bangsa. Setelah itu semua calon presiden yang maju dalam pemilihan presiden pun merupakan pasangan antara figur nasionalis dan kalangan santri seperti pasangan Megawati-Hamzah Haz dan SBY-JK. Kecenderungan itu bagi Kuntowijoyo merupakan representasi pragmatisme religius. Dalam pragmatisme religius, dikotomi sekuler-religius hilang. Tak ada lagi dikotomi santri-abangan. Bersama dengan hilangnya dikotomi sekuler-religius, tidak akan ada lagi karisma, kekuatan dan makna politik. Pragmatisme religius mengintegrasikan yang sekuler dan yang religius. Pragmatisme religius adalah antropo-teosentrisme. Negara Hukum Tak Bermoral Hukum sesungguhnya terbentuk dan berkembang sebagai produk sosial yang sekaligus mempengaruhi dan menekan sebagai suatu kebijakan sehingga hukum mencerminkan dinamika proses interaksi sosial-masyarakat yang berlangsung secara kontinyu. Hukum tidak dapat dipisahkan dari sosio-kultur, sejarah serta waktu di mana kita sedang berada, law is not separate from the culture, history and time in which it exists. Dalam setiap perkembangan sejarah dan sosial harus diimbangi dengan perkembangan hukum yang menyertainya, karena setiap perubahan sosial pada dasarnya akan mempengaruhi perkembangan hukum social movement effect the development of law. Sehingga hukum seharusnya menjadi jembatan atau instrumen dalam mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD '45. Namun sayangnya dalam penegakan supremasi hukum di era reformasi ini terjadi kekeliruan dalam menafsirkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila serta tujuan subtantif yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Sehingga dimasa mendatang harus ada perubahan suasana hukum dari sistem hukum yang sedang berjalan kepada sistem hukum yang diinginkan, dan berorientasi kepada pandangan hidup, wawasan politik hukum dan kepentingan nasional, sebagai bangsa yang sedang membangun berdasarkan suatu konsep strategi pengelolaan nasional, dan memperhitungkan dimensi-dimensi nasional, regional, dan global. Dengan demikan perlu dilakukan reformasi hukum terhadap kekeliruan interpretasi dan kembali kepada konseptual sejumlah Nilai Dasar yang tercantum dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh, Penjelasan UUD 1945 dan ketetapan MPR. Sebenarnya berbicara mengenai stagnasi penegakan hukum adalah berbicara tentang supremasi hukum yang terabaikan. Kenyataanya secara hukum formal hukum sudah bagus, hukum formal telah menyediakan berbagai sanksi terhadap pelaku tindak pidana. Namun kenyataannya hukum bisa tajam kepada orang miskin, tetapi tidak kepada mereka yang berkuasa dan berkantong besar, bahkan hukum bisa jadi menjadi sebuah alat permainan baru yang mengasyikkan. Keadilan hukum tidak pernah bertemu dengan rasa keadilan individu dan masyarakat. Namun keputusan hakim selalu hanya bersandarkan pada keadilan dan sepastian hukum tanpa memiliki keberanian mencari tujuan dan kemanfaatan hukum yang substantif. Tidak ada keberanian hakim menafsirkan, misalnya, mempertimbangkan latar belakang terdakwa melakukan kejahatan atau pelanggaran. Tidak ada yang lebih jahat daripada penegakan hukum minus keadilan, sehingga muncul sebuah istilah hukum "lebih baik salah membebaskan orang daripada salah menghukum orang". Hukum minus keadilan ibarat tubuh tak bernyawa. Pasal-pasal pada secarik kertas tidak bermakna apa-apa. Padahal hukum sesungguhnya hanyalah macan kertas dan hakim bukanlah merupakan "corong" undang-undang. Supremasi hukum yang didengung-dengungkan menjadi simbol keperkasaan orde reformasi telah mengalami kegagalan, sebenarnya kesalahan juga terletak pada UU hukum yang dipergunakan di Indonesia yang merupakan hasil warisan dari hukum kolonial Belanda yang kini telah usang, bagaimana tidak dalam KUHP yang dipergunakan masih menggunakan batasan nominal yang berlaku di zaman dulu, pasal tentang pencurian misalnya, masih menerapkan sistem penahanan pada pelaku pencurian dengan nilai kerugian di atas Rp 250. Padahal harga nominal itu dulu dibandingkan dengan zaman kemajuan kini tentu sangat jauh berbeda bahkan bisa dianggap tak memiliki harga lagi, sehingga KUHP tersebut perlu direvisi. Disisi lain hakim harus mempunyai keberanian melalui penalaran hukum yang merupakan sebagai suatu bagian dari ilmu hukum yang harus mampu menjawab persoalan-persoalan keadilan di masyarakat khususnya bagi masyarakat kalangan bawah. Penalaran hukum yang dimaksud adalah sebuah proses berfikir dan menalar secara obyektif-subyektif dengan menggunakan hukum-hukum penalaran yang mampu menembus batas-batas hukum prosedural yang terkadang membelenggu, pada saat kondisi terjadinya carut marut dalam praksis hukum maka harus dikembalikan kepada penalaran hukum untuk dapat menemukan keputusan hukum yang benar. Selain itu penafsiran atas hukum dengan mengingat struktur masyarakat Indonesia yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin haruslah menjadi pertimbangan dalam penerapan hukum, sehingga meski tetap dengan berpedoman hukum prosedural tapi dalam praktiknya hukum harus lebih bersifat responsif. Sehingga hukum memiliki tujuan utama yaitu membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum, agar pola pikir dan nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks dinamika kehidupan sosial dan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan para penegak atau aparat hukum. Kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih intens dan eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif. Dalam pandangan ini, hukum yang baik memiliki kriteria seharusnya memberikan suatu esensi yang lebih dari sebatas prosedur formalitas hukum. Hukum harus kompeten dan adil, sehingga seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif. Hakim seharusnya ingat bahwa posisi hakim sekali lagi bukanlah corong undang-undang, bahkan lebih jauh hakim mempunyai wewenang dalam menggali hukum substantif yang ada sehingga diberlakukan pula jurisprudensi hakim. Sebenarnya memproklamasikan Indonesia sebagai negara hukum secara sempurna hanyalah sebuah mimpi belaka, kenyataan formal memang demikian akan tetapi substansi perjalanannya masih jauh sehingga membangun negara hukum sesungguhnya adalah sebuah proyek besar, proses membangun negara hukum bukanlah bagian dari sejarah sosio-politik negara Indonesia di masa lalu, akan tetapi merupakan hasil akulturasi. Negara hukum adalah bangunan yang dipaksakan dari luar, membangun negara hukum berarti membangun perilaku bernegara hukum dan membangun peradaban baru, sebuah proyek yang membutuhkan keberanian dalam proses penegakan hukum yang lebih memasyarakat. Menanti Peran Kepemimpinan Santri Lihatlah bagaimana percaturan dalam ranah politik di Indonesia kini, berbagai rekayasa permainan dan manipulasi politik dilakukan hanya untuk memenuhi hasrat pribadi, hukum tak lagi menjadi kekuatan yang menakutkan karena supremasi hukum telah mengalami degradari yang bisa diperjualbelikan dengan uang. Karakter yang ditunjukkan oleh para aparatur pemerintahan ini menunjukkan ada yang salah dalam kepribadian mereka yang telah mengalami krisis moral. Arus pergeseran sekularisme dan globalisasi telah memisahkan agama dari pemerintahan sehingga mengakibatkan sosok non-religius yang ambisius. Sehingga ditengah kepemimpinan gaya sekuler itu, sosok santri di pentas kepemimpinan nasional menjadi sangat diharapkan untuk membawa perubahan dan merehabilitasi karakter kepemimpinan bangsa. Namun sejauh ini kualitas kepemimpinan santri memang belum teruji, dari segi perbaikan ekonomi, peningkatan kesejahteraan serta penegakan hukum yang berkeadilan, kepemimpinan santri masih harus diuji. Sebenarnya fakta ini memprihatinkan karena pada dasarnya, kepemimpinan kaum santri di pentas nasional relatif memenuhi kriteria akseptabilitas, kapabilitas, dan integritas. Ketiga sifat itu merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, karena misalnya tanpa akseptabilitas, seorang pemimpin akan rentan dipertanyakan keabsahannya karena tidak memiliki legitimasi yang kuat. Sebaliknya, tanpa kapabilitas, tentu tidak akan mampu memimpin peradaban karena lemah dalam kompetensi dan kualitas. Begitu pula apabila tanpa integritas, pemimpin akan mudah terombang-ambing dalam arus pergeseran moral dan karakter politik. Sebagai kalangan yang diharapkan, santri harus terlibat dalam integrasi dua kekuatan antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius merupakan representasi ideal dalam membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Akan tetapi deengan kekuatan representasi dan religiusitas para politisi santri tidak berhasil membangun moralitas di parlemen, mengapa? Setidaknya ada beberapa tekanan yang menyeret pergeseran moralitas para politisi. Pertama, beban intelektual. Indonesia memang negara partai, kepemimpinan pun tidak dipilih berdasarkan kapabilitas dan profesionalisme akan tetapi berdasarkan kekuasaan. Sehingga politisi terjebak pada kelatahan kemampuan dalam yang bukan bidang yang mengakibatkan merebaknya ketidakjujuran. Kedua, kenyataan bahwa politisi yang seharusnya menjadi wakil rakyat merupakan wakil partai. Sehingga sehingga sikap solider dan pernyataan sikap harus merupakan penjelmaan dari kepentingan partai meski harus berbeda dari pendapat pribadi, kasus Lily Wahid dengan partai PKB-nya merupakan wujud penjelmaan ini.Ketiga, merosotnya etika kritis di kalangan politisi. Dengan mengejar berbagai kepentingan kekuasaan dan model persaingan merebut kepercayaan publik mengakibatkan politisi melupakan etika nalar kritik dan melemahkan kekebalan pribadi terhadap kritik yang memang tidak konstruktif dan kompetitif. Sehingga kalangan santri sebagai representasi dari religiusitas, seharunyamereka mampu memegang prinsip moralitas dari bisikan sekularis dan gaya hidup hedonis, sehingga berbagai kebijakan dan transaksi politik murni merupakan pengejewantahan tugas kepemimpinan dan rasa tanggungjawab. Di tengah degradasi moral dan karakter pemimpin bangsa, mereka sebenarnya memiliki peranan strategis dalam pembangunan peradaban bangsa ke arah perubahan yang lebih baik. Sebagai kaum pengusung moralitas, tidaklah cukup hanya berkutat di wilayah kajian kitab kuning. Peran aksi kaum santri sangatlah penting demi merehabilitasi karakter dan akhlak bangsa yang mulai runtuh. (*) By: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Revitalisasi+Peran+Kepemimpinan+Santri&dn=20120428114130

Kamis, 26 April 2012

Santri: Menuju Pergulatan Modern

Pengaruh perkembangan zaman membawa dampak dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk perkembangan dunia pendidikan, pengaruh perkembangan tersebut menciptakan multiproblem dan dekadensi moral dalam kehidupan manusia. Salah satu penyebab dari hal ini adalah karena pendidikan sebagai salah satu benteng pertahanan tidak mampu memberikan peran dalam perkembangannya, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Institusi pendidikan akan lebih disorot perkembangannya karena realitas ini, lahirnya problem solving merupakan salah satu formula tepat dalam meyelesaikan permasalahan yang terjadi akibat dekadensi moral. Peserta didik institusi pendidikan diharapkan menjadi cerminan suksenya lembaga tersebut, artinya lembaga tersebut dinilai sukses melalui perkembangan alumni yang telah diluluskannya, termasuk juga dayah dan santrinya. Santri sebagai alamuni dayah diharapkan oleh masyarakat mampu memberikan penyegaran dan pencerahan dalam kehidupan masyarakat, ini merupakan harapan dari orang tua santri sendiri dan bahkan masyarakat, harapan tersebut dikuatkan dengan istilah meudagang yang diberikan sebagai julukan bagi santri dayah, ini menunjukkan bahwa ada sejumlah harapan yang diharapkan dari santri yang belajar di dayah. Selesai pendidikan mereka hendaknya dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai seperti yang dihasilkan oleh orang yang meudagang (pengusaha). Selama ini santri merupakan mahasiswa-nya lembaga pendidikan tradisional dengan berbagai ketertinggalan dan keterbatasan yang dimiliknya, sehingga apabila disebut santri (awak meudagang) akan timbul asumsi bahwa pelajar yang kolot, hanya memiliki kemampuan membaca kita kuning, hidup sederhana, tidak dapat mengikuti perkembangan zaman, dan tidak memiliki masa depan (unlucky), ini realitas yang selama ini berkembang dalam masyarakat. Membuka tabir sejarah yang kadang tertutup oleh penilaian subjektif, bahwa tempo dulu dayah dengan santri telah menyumbang banyak bagi perkembangan masyarakat ini, dan menjadi actor dalam perkembangan kehidupan masyarakat serta mampu menjadi agent of change dalam masyarakat, ini realita yang benar terjadi, bahkan banyak tokoh dari dayah yang telah membuktikan hal ini. Melihat konteks zaman sekarang tentu kita dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perkembangan tersebut, serta dituntut untuk mengubah setiap tantangan menjadi peluang. Menguatkan hal ini didukung oleh sebuah kaidah ushul yang sering dengar dan menjadi adagium mereka yang menyuarakan perubahan, yaitu al muhafadhatu ’ala al-qadimi al-shalih (mempertahankan/memelihara hal-hal yang lama adalah baik) wal al-akhzu bil jadid al-ashlah (mengambil sesuatu yang baru adalah adalah lebih baik), analisis dari kaidah ini akan menimbulkan satu analisa yaitu penerimaan terhadap modernisasi (baca: Mujammil Qamar dalam bukunya Pesantren dari Transformasi Metodelogi Menuju Demokratisasi Institusi, Erlangga, 74). Mengambil sesuatu yang baru bukan berarti melupakan sesuatu yang selama ini menjadi tradisi, tetapi akan lebih baik jika kita mengambil sesuatu yang baru itu menjadi tardisi serta tetap mempertahankan tradisi sepenjang relevan dengan perkembangan dan dalam koridor positif, sebagai contoh; sebelum ada sepeda motor tentu sepeda menjadi alat transpor yang selalu digunakan, tetapi ketika sepeda motor ada tentu memilih sepeda motor sebagai alat transpor lebih baik, mempercepat dan mempermudah, tetapi apakah ketika sepeda motor ada sepeda harus disingkirkan? Tentu tidak jawabanya, sepeda motor dipakai dan sepeda setidaknya menjadi alat transpor arternatif jika sepeda motor rusak atau diperbaiki, kita tetap mempertahankan sepeda. konteks dunia modern sekarang ini, santri hendaknya perlu merenspon isu-isu modernisasi dengan mempersiapakan diri dengan berbagai pengatahuan yang relevaan dengan perkembangan zaman modern, sebagai tokoh yang menkritisi perkembangan dari institusi tardisional Nurcholis Madjid menyarakan bahwa semboyan masyarakat madani akan mudah terwujud bila institusi pesantren mudah tanggap atas perkembangan dunia modern, Nurcholis mengakui bahwa santri sebagai sebuah elemen dari pesantren menjadi faktor percepatan terwujudnya masyarakat madani, tentunya mereka harus benar-benar tanggap dengan perkembangan zaman dan mampu bermain di kancah dunia modern. Kontribusi dan gebrakan-gebrakan baru diharapakan muncul dari alumni dayah sebagai kader ulama ke depan dan juga menjadi agent of development dalam masyarakat. Dalam perkembangan keagamaan tentu muncul berbagai permasalah baru yang harus mendapatkan jawaban, dalam perkembangan ilmu fiqih misalnya, muncul berbagai masalah-masalah baru yang muncul dalam masyarakat (masail al-fiqih al-hadisath), dalam hal ini masyarakat mengaharapkan jawabannya, santri sebagai kader ulama diharapkan mampu memberikan jawaban atas permasalahan tersebut, jika tidak, jawaban akan dijawab oleh orang-orang yang tidak berkompeten di bidang tersebut sehingga jawaban mereka tidak sesuai dengan tuntutan agama, dan ini membawa pengaruh dalam perkembangan masyarakat. Menghadapi berbagai masalah yang muncul serta tuntutan eksistensi santri dayah, maka sebuah pertanyaan besar muncul, bagaimana santri dalam kancah modern? Apakah mereka tetap dengan tradisi lama, atau merenspon perkembangan? Penulis berkesimpulan bahwa renspon perlu diberikan terhadap perkembangan zaman dan konteks modern dengan mempersiapkan sumber daya manusia santri yang ilmunya ready for use, baik ilmu agama bahkan ilmu pengetahuan lainnya. Namun mendukung upaya santri meretas jalan tersebut tentunya setiap pihak harus mendukung, tinggalkan tradisi diskriminasi terhadap dayah. Yakinlah masyarakat akan sadar bersyariat seiring dengan kemampuan kita memajukan dayah dalam memantapkan pengetahuan masyarakat serta meningkatkan kesadaran untuk hidup di bawah naungan syariat Islam. By:http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/10/santri-menuju-pergulatan-modern/

Tragedi-Tragedi di Masa Santri Menjadi Kenangan di Masa Tua

Kejadian atau tragedi yang memalukan disaat kita menjadi santri itu akan menjadi bahan pembicaraan atau topik utama yang kita bahas pasti prilaku-prilaku yang memalukan atau yang sangat uni bagi kita semasa saat menjadi santri, kita ambil contoh saja dari pengalaman-pengalaman santri yang terdahulu, meraka pernah melakukan kesalahan yang fatal ,contohnya berhubungan lawan jenis atau cinta-cintaan , kabur dari pondok, mencuri kelapa, dan lain sebagainya. Memang otak santri itu bervariasi dalam segala hal, entah itu dalam kebaikan, entah itu dalam segala hal lainnya, dan itu semua akan menjadi bahan cerita bagi anak cucu kita di masa depan, ketika kita mendengar pengalalaman-pengalaman yang pernah kita alami kita hanya bisa tertawa dan berfikir apakah benar kita pernah merasakan hal tersebut?, itu semua haya ada di dunia santri. By: http://hisada.daarululuum.com/?p=586

Kehidupan Ala Santri

Jatuh bangun kehidupan santri

assalammualaikum.!
welcome all!
      Buat para calon santri semuanye,gak ada kata buat gak bisa dan gak mungkin,semua harus dicoba bos!dan yang terpenting bisa dijadikan pengalaman,cerita untuk keturunan kalian dan pengalaman hidup:
  • FOR FIRST CLASS biasa dibilang SANTRI TAAT
       Hahahaha,ane kalau melihat atau mengalami masa masa kelas1,saat pertama kali masuk pondok lucu gan!dulu aja ane nangis pertama kali dipondok,kangen..but itu wajar.!namanya juga bru ditinggal,apalagi dalam waktu lama.Pada masa kelas satu inilah kemandirian kita diuji,tanpa orang tua,belajar sendiri,mandi sendiri,tidur sendiri..apapun semuanya sendiri dan itulah namanya pengalaman baru.
ketika sekola,mungkin kita akan menemukan teman yang tidak kita sukai,dan itu wajar.!Yang namanya dipondok itu,yang temannya bergabung dari seluruh Indonesia menjadi satu untuk saling kenal adat mereka,sifat mereka,dan masih banyak lagi.So,jangan merasa rugi jika ente baru masuk pertama kali di pondok,karena semua yang antum lakukan,entah kangen,hola-holo,itu wajar..yang terpenting di pondok itu,adalah bagaimana cara kita hidup sndiri,mandiri,tanpa bantuan dari orang tua lagi..

by: http://anakpondokkeren.blogspot.com/p/jatuh-bangun-kehidupan-santri.html

Jumat, 20 April 2012

RUMPUT » Dunia Santri

Yahudi. Satu kata itu menjadi satu makian konspiratif bagi muslim, tidak hanya kalangan fundamentalis, tetapi juga tradisionalis. Setiap ada budaya yang dilihat sebagai sesuatu yang menggerogoti tradisi keislaman selalu dikaitkan dengan upaya Yahudi dalam melemahkan iman masyarakat muslim. Demikian, ungkap Martin Van Bruinessen dalam sebuah ceramah yang disampaikan pada Institut Dialog Antar Iman (DIAN), Yogjakarta tahun 1993.
Tetapi, tahukah kita, bahwa ada seorang etnis Yahudi kelahiran Andalusia pada abad kelima belas masehi adalah salah satu penyebar Islam di pulau Jawa. Dialah Maulana Abdulmalik Israel yang semula seorang Yahudi yang konversi menjadi muslim, demikian dituliskan oleh Kyai Haji Muhammad Solikhin, seorang ulama yang mengasuh pesantren di Boyolali, dalam triloginya tentang Syeikh Siti Jenarnya. Bahkan, dalam buku yang ditulis oleh Ibnu Batutah, konon Maulana Malik Israel adalah salah satu anggota dari dewan Wali Sanga angkatan pertama, selain Syeikh Subakir, Syeikh Hassanuddin dan beberapa penyebar Islam pertama di Jawa. Maulana Malik Israel adalah seorang sufi yang meninggalkan tradisi Andalusia, tempat kelahirannya, sehingga tidak melulu mengandalkan rasionalisme yang telah menyebabkan kejatuhan Andalusia.

Maulana Malik Israel bersama anggota dewan Wali Songo menyebarkan Islam hingga akhirnya hayatnya. Konon, beliau dikuburkan di sebuah bukit kecil di tepi Teluk Banten, Bojonegara, Kab. Serang, utara Kota Cilegon. Tampaknya, bukit itu dipilih pertama kali oleh Maulana Malik Israel sebagai ulama yang lebih tua dari Syeikh Sholeh bin Abdurrahman seorang penyebar Islam yang hidup pada masa Maulana Hassanuddin. Bukit itu berada pada lokasi yang memiliki titik pandang yang cukup indah ke arah barat sehingga dapat menjadi proyeksi tafakur pada saat menyepi. Masyarakat menyebut bukit itu dengan Gunung Santri. Konon, daerah itu adalah tempat santri belajar kepada guru ulama tersebut.

Pada masa selanjutnya, daerah itu disebut dengan nama Kampung Beji. Sebuah kampung yang kemudian menjadi basis pergerakan perlawanan masyarakat Banten terhadap Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 hingga masa kemerdekaan. Salah satu inspirator perlawanan itu adalah Maulana Malik Israel, selain tentunya Sultan Ageng Tirtayasa, musuh utama VOC.

Inspirasi itu masuk dalam beberapa bentuk, antara lain melalui keturunannya yang tersebar di hampir seluruh tanah banten. Salah satu keturunannya adalah Syeikh Jamaluddin yang dimakamkan di dekat Pelabuhan Merak. Keturunan Maulana Malik Israel konon dinikahi oleh kakek dari Syarif Hidayatullah. artinya, secara tidak langsung Syarif Hidayatullah sebagian dari dirinya berdarah Israili, selain berdarah Husseini. Jejak dari penghormatan kepada Maulana Malik Israel ini disebutkan dalam silsilah Maulana Hassanuddin yang disebutkan dalam Sejarah Banten dengan nama Sultan Bani Israel. Inspirasi itu, selain melalui darah genetik, adalah tradisi wasilah dalam doa yang dipanjatkan dalam setiap memulai doa, hizib atau munajat oleh masyarakat Banten.

Dus, Yahudi bagi orang Islam tidak melulu distigmakan oleh muslim sebagai musuh pengrusak iman ummat Islam, tetapi ada juga seorang Yahudi yang mendapatkan penghormatan sebagaimana para wali penyebar Islam di Jawa lainnya. {annuri furqon}

by: http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=7