Pages

Subscribe:

Informasi Dan Tekno

Minggu, 29 April 2012

Revitalisasi Peran Kepemimpinan Santri

KabarIndonesia - Kalangan santri dalam potret sejarah selalu memegang peranan penting di hampir setiap transformasi sosial dan perjuangan meraih cita-cita suatu bangsa. Pada masa pra kemerdekaan misalnya kaum dan tokoh santri selalu turut andil dalam perjuangan kemerdekaan dengan perlawanan fisik maupun pikiran. KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan misalnya, dengan perjuangan menciptakan generasi-generasi ulama' yang intelek dan mencerdaskan generasi bangsa sehingga peninggalan mereka menjadi saksi perjuangan dalam bentuk organisasi yang didirikan yaitu NU dan Muhammadiyah. Bahkan pasca reformasi kalangan santri masih mendominasi peranan, pada masa ini kekuatan Islam mulai unjuk gigi dalam mengusung perubahan karakter bangsa dengan pesan moralitas agama. Misalnya ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden RI, Amien Rais terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR menunjukkan eksistensi kalangan santri dalam memegang peranan pembangunan bangsa. Setelah itu semua calon presiden yang maju dalam pemilihan presiden pun merupakan pasangan antara figur nasionalis dan kalangan santri seperti pasangan Megawati-Hamzah Haz dan SBY-JK. Kecenderungan itu bagi Kuntowijoyo merupakan representasi pragmatisme religius. Dalam pragmatisme religius, dikotomi sekuler-religius hilang. Tak ada lagi dikotomi santri-abangan. Bersama dengan hilangnya dikotomi sekuler-religius, tidak akan ada lagi karisma, kekuatan dan makna politik. Pragmatisme religius mengintegrasikan yang sekuler dan yang religius. Pragmatisme religius adalah antropo-teosentrisme. Negara Hukum Tak Bermoral Hukum sesungguhnya terbentuk dan berkembang sebagai produk sosial yang sekaligus mempengaruhi dan menekan sebagai suatu kebijakan sehingga hukum mencerminkan dinamika proses interaksi sosial-masyarakat yang berlangsung secara kontinyu. Hukum tidak dapat dipisahkan dari sosio-kultur, sejarah serta waktu di mana kita sedang berada, law is not separate from the culture, history and time in which it exists. Dalam setiap perkembangan sejarah dan sosial harus diimbangi dengan perkembangan hukum yang menyertainya, karena setiap perubahan sosial pada dasarnya akan mempengaruhi perkembangan hukum social movement effect the development of law. Sehingga hukum seharusnya menjadi jembatan atau instrumen dalam mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD '45. Namun sayangnya dalam penegakan supremasi hukum di era reformasi ini terjadi kekeliruan dalam menafsirkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila serta tujuan subtantif yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Sehingga dimasa mendatang harus ada perubahan suasana hukum dari sistem hukum yang sedang berjalan kepada sistem hukum yang diinginkan, dan berorientasi kepada pandangan hidup, wawasan politik hukum dan kepentingan nasional, sebagai bangsa yang sedang membangun berdasarkan suatu konsep strategi pengelolaan nasional, dan memperhitungkan dimensi-dimensi nasional, regional, dan global. Dengan demikan perlu dilakukan reformasi hukum terhadap kekeliruan interpretasi dan kembali kepada konseptual sejumlah Nilai Dasar yang tercantum dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh, Penjelasan UUD 1945 dan ketetapan MPR. Sebenarnya berbicara mengenai stagnasi penegakan hukum adalah berbicara tentang supremasi hukum yang terabaikan. Kenyataanya secara hukum formal hukum sudah bagus, hukum formal telah menyediakan berbagai sanksi terhadap pelaku tindak pidana. Namun kenyataannya hukum bisa tajam kepada orang miskin, tetapi tidak kepada mereka yang berkuasa dan berkantong besar, bahkan hukum bisa jadi menjadi sebuah alat permainan baru yang mengasyikkan. Keadilan hukum tidak pernah bertemu dengan rasa keadilan individu dan masyarakat. Namun keputusan hakim selalu hanya bersandarkan pada keadilan dan sepastian hukum tanpa memiliki keberanian mencari tujuan dan kemanfaatan hukum yang substantif. Tidak ada keberanian hakim menafsirkan, misalnya, mempertimbangkan latar belakang terdakwa melakukan kejahatan atau pelanggaran. Tidak ada yang lebih jahat daripada penegakan hukum minus keadilan, sehingga muncul sebuah istilah hukum "lebih baik salah membebaskan orang daripada salah menghukum orang". Hukum minus keadilan ibarat tubuh tak bernyawa. Pasal-pasal pada secarik kertas tidak bermakna apa-apa. Padahal hukum sesungguhnya hanyalah macan kertas dan hakim bukanlah merupakan "corong" undang-undang. Supremasi hukum yang didengung-dengungkan menjadi simbol keperkasaan orde reformasi telah mengalami kegagalan, sebenarnya kesalahan juga terletak pada UU hukum yang dipergunakan di Indonesia yang merupakan hasil warisan dari hukum kolonial Belanda yang kini telah usang, bagaimana tidak dalam KUHP yang dipergunakan masih menggunakan batasan nominal yang berlaku di zaman dulu, pasal tentang pencurian misalnya, masih menerapkan sistem penahanan pada pelaku pencurian dengan nilai kerugian di atas Rp 250. Padahal harga nominal itu dulu dibandingkan dengan zaman kemajuan kini tentu sangat jauh berbeda bahkan bisa dianggap tak memiliki harga lagi, sehingga KUHP tersebut perlu direvisi. Disisi lain hakim harus mempunyai keberanian melalui penalaran hukum yang merupakan sebagai suatu bagian dari ilmu hukum yang harus mampu menjawab persoalan-persoalan keadilan di masyarakat khususnya bagi masyarakat kalangan bawah. Penalaran hukum yang dimaksud adalah sebuah proses berfikir dan menalar secara obyektif-subyektif dengan menggunakan hukum-hukum penalaran yang mampu menembus batas-batas hukum prosedural yang terkadang membelenggu, pada saat kondisi terjadinya carut marut dalam praksis hukum maka harus dikembalikan kepada penalaran hukum untuk dapat menemukan keputusan hukum yang benar. Selain itu penafsiran atas hukum dengan mengingat struktur masyarakat Indonesia yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin haruslah menjadi pertimbangan dalam penerapan hukum, sehingga meski tetap dengan berpedoman hukum prosedural tapi dalam praktiknya hukum harus lebih bersifat responsif. Sehingga hukum memiliki tujuan utama yaitu membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum, agar pola pikir dan nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks dinamika kehidupan sosial dan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan para penegak atau aparat hukum. Kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih intens dan eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif. Dalam pandangan ini, hukum yang baik memiliki kriteria seharusnya memberikan suatu esensi yang lebih dari sebatas prosedur formalitas hukum. Hukum harus kompeten dan adil, sehingga seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif. Hakim seharusnya ingat bahwa posisi hakim sekali lagi bukanlah corong undang-undang, bahkan lebih jauh hakim mempunyai wewenang dalam menggali hukum substantif yang ada sehingga diberlakukan pula jurisprudensi hakim. Sebenarnya memproklamasikan Indonesia sebagai negara hukum secara sempurna hanyalah sebuah mimpi belaka, kenyataan formal memang demikian akan tetapi substansi perjalanannya masih jauh sehingga membangun negara hukum sesungguhnya adalah sebuah proyek besar, proses membangun negara hukum bukanlah bagian dari sejarah sosio-politik negara Indonesia di masa lalu, akan tetapi merupakan hasil akulturasi. Negara hukum adalah bangunan yang dipaksakan dari luar, membangun negara hukum berarti membangun perilaku bernegara hukum dan membangun peradaban baru, sebuah proyek yang membutuhkan keberanian dalam proses penegakan hukum yang lebih memasyarakat. Menanti Peran Kepemimpinan Santri Lihatlah bagaimana percaturan dalam ranah politik di Indonesia kini, berbagai rekayasa permainan dan manipulasi politik dilakukan hanya untuk memenuhi hasrat pribadi, hukum tak lagi menjadi kekuatan yang menakutkan karena supremasi hukum telah mengalami degradari yang bisa diperjualbelikan dengan uang. Karakter yang ditunjukkan oleh para aparatur pemerintahan ini menunjukkan ada yang salah dalam kepribadian mereka yang telah mengalami krisis moral. Arus pergeseran sekularisme dan globalisasi telah memisahkan agama dari pemerintahan sehingga mengakibatkan sosok non-religius yang ambisius. Sehingga ditengah kepemimpinan gaya sekuler itu, sosok santri di pentas kepemimpinan nasional menjadi sangat diharapkan untuk membawa perubahan dan merehabilitasi karakter kepemimpinan bangsa. Namun sejauh ini kualitas kepemimpinan santri memang belum teruji, dari segi perbaikan ekonomi, peningkatan kesejahteraan serta penegakan hukum yang berkeadilan, kepemimpinan santri masih harus diuji. Sebenarnya fakta ini memprihatinkan karena pada dasarnya, kepemimpinan kaum santri di pentas nasional relatif memenuhi kriteria akseptabilitas, kapabilitas, dan integritas. Ketiga sifat itu merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, karena misalnya tanpa akseptabilitas, seorang pemimpin akan rentan dipertanyakan keabsahannya karena tidak memiliki legitimasi yang kuat. Sebaliknya, tanpa kapabilitas, tentu tidak akan mampu memimpin peradaban karena lemah dalam kompetensi dan kualitas. Begitu pula apabila tanpa integritas, pemimpin akan mudah terombang-ambing dalam arus pergeseran moral dan karakter politik. Sebagai kalangan yang diharapkan, santri harus terlibat dalam integrasi dua kekuatan antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius merupakan representasi ideal dalam membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Akan tetapi deengan kekuatan representasi dan religiusitas para politisi santri tidak berhasil membangun moralitas di parlemen, mengapa? Setidaknya ada beberapa tekanan yang menyeret pergeseran moralitas para politisi. Pertama, beban intelektual. Indonesia memang negara partai, kepemimpinan pun tidak dipilih berdasarkan kapabilitas dan profesionalisme akan tetapi berdasarkan kekuasaan. Sehingga politisi terjebak pada kelatahan kemampuan dalam yang bukan bidang yang mengakibatkan merebaknya ketidakjujuran. Kedua, kenyataan bahwa politisi yang seharusnya menjadi wakil rakyat merupakan wakil partai. Sehingga sehingga sikap solider dan pernyataan sikap harus merupakan penjelmaan dari kepentingan partai meski harus berbeda dari pendapat pribadi, kasus Lily Wahid dengan partai PKB-nya merupakan wujud penjelmaan ini.Ketiga, merosotnya etika kritis di kalangan politisi. Dengan mengejar berbagai kepentingan kekuasaan dan model persaingan merebut kepercayaan publik mengakibatkan politisi melupakan etika nalar kritik dan melemahkan kekebalan pribadi terhadap kritik yang memang tidak konstruktif dan kompetitif. Sehingga kalangan santri sebagai representasi dari religiusitas, seharunyamereka mampu memegang prinsip moralitas dari bisikan sekularis dan gaya hidup hedonis, sehingga berbagai kebijakan dan transaksi politik murni merupakan pengejewantahan tugas kepemimpinan dan rasa tanggungjawab. Di tengah degradasi moral dan karakter pemimpin bangsa, mereka sebenarnya memiliki peranan strategis dalam pembangunan peradaban bangsa ke arah perubahan yang lebih baik. Sebagai kaum pengusung moralitas, tidaklah cukup hanya berkutat di wilayah kajian kitab kuning. Peran aksi kaum santri sangatlah penting demi merehabilitasi karakter dan akhlak bangsa yang mulai runtuh. (*) By: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Revitalisasi+Peran+Kepemimpinan+Santri&dn=20120428114130

0 komentar

Posting Komentar

Komentar Anda Adalah Suatu Proses Awal Perubahan Bagi Kami....